Kasus perdata terkait keabsahan ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA) yang menyeret Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI memasuki babak baru yang dramatis. Sebelumnya, seorang warga negara bernama Subhan Palal mengajukan Gugatan Ijazah Gibran ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dengan tuntutan ganti rugi yang fantastis, mencapai Rp125 triliun. Namun, dalam perkembangan mediasi terbaru, penggugat secara mengejutkan mengubah arah tuntutannya.
Subhan Palal menyatakan kesiapannya untuk berdamai dan mencabut seluruh tuntutan ganti rugi material dan imaterial sebesar Rp125 triliun tersebut. Uang, kata Subhan, bukanlah tujuan utama. Sebagai gantinya, ia mengajukan syarat tunggal yang politis dan mengejutkan: Gibran Rakabuming Raka harus mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Proposal perdamaian ini telah diajukan kepada Majelis Hakim mediator, menyoroti bahwa tujuan utama gugatan ini adalah untuk mencari pemimpin negara yang dianggap ‘tidak cacat’ dalam hal legalitas persyaratan pendidikan.
Tuntutan Awal dan Perubahan Strategi
Gugatan perdata yang diajukan oleh Subhan Palal terdaftar dengan nomor perkara 583/Pdt. G/2025/PN Jkt. Pst. Sejak awal, gugatan ini tidak hanya menyoal ganti rugi finansial semata. Petitum awal gugatan secara eksplisit meminta majelis hakim menyatakan Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) dan menyatakan Gibran tidak sah menjadi Wakil Presiden. Tuntutan Rp125 triliun yang mencengangkan, menurut penggugat, dihitung dari jumlah perkiraan kerugian yang dialami oleh seluruh warga negara Indonesia akibat dugaan PMH tersebut, dan uangnya dijanjikan untuk disetorkan ke kas negara.
Namun, dalam proses mediasi, fokus bergeser. Subhan secara tegas mencabut tuntutan uang tersebut, menyatakan bahwa kerugian yang ia gugat adalah kerugian imaterial yang hanya bisa dibayar dengan langkah politik. Pengajuan syarat Gugatan Ijazah Gibran yang meminta pengunduran diri ini menempatkan kasus perdata ini di tengah pusaran politik nasional. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi penggugat melampaui kepentingan finansial pribadi, beralih ke dimensi etika dan legitimasi kepemimpinan.
Syarat Damai: Pengunduran Diri dan Permintaan Maaf
Proposal perdamaian yang diajukan oleh Subhan Palal kepada pihak tergugat, yakni Gibran Rakabuming Raka dan KPU RI, berpusat pada dua poin utama:
- Pengunduran Diri: Gibran dan Ketua KPU RI diminta untuk mundur dari jabatan masing-masing. Subhan berpendapat bahwa karena gugatan ini berlandaskan Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan unsur PMH menjadi sempurna dengan keterlibatan KPU, maka kedua pihak yang dianggap bertanggung jawab harus menanggung konsekuensi kolektif.
- Permintaan Maaf: Tergugat I (Gibran) dan Tergugat II (KPU) diminta untuk secara terbuka meminta maaf kepada seluruh warga negara dan bangsa Indonesia.
Permintaan untuk membatalkan tuntutan Rp125 triliun menunjukkan bahwa tuntutan awal tersebut lebih bersifat simbolis, untuk menarik perhatian publik terhadap substansi permasalahan. Namun, syarat pengunduran diri sebagai syarat damai dalam Gugatan Ijazah Gibran ini jelas merupakan tuntutan yang sangat berat dan berisiko tinggi.
Implikasi Hukum dan Politik
Secara prosedural, pengadilan negeri memfasilitasi mediasi sebagai upaya damai antara pihak yang bersengketa dalam kasus perdata. Apabila mediasi gagal mencapai kesepakatan, proses litigasi akan dilanjutkan ke pokok perkara, di mana majelis hakim akan memutuskan apakah perbuatan melawan hukum benar terjadi dan sanksi apa yang harus diberikan, termasuk kemungkinan dikabulkannya tuntutan awal (meski kini ditarik kembali) atau tuntutan lainnya yang relevan.
Langkah Subhan untuk menjadikan pengunduran diri sebagai syarat damai mengubah total dinamika hukum kasus ini. Pada satu sisi, ia melepaskan tuntutan finansial yang fantastis, yang mungkin sulit dibuktikan secara hukum. Di sisi lain, ia menggantinya dengan tuntutan politik yang hampir mustahil untuk dipenuhi di pengadilan perdata biasa. Pengadilan perdata tidak memiliki kewenangan untuk memaksa pejabat publik mundur dari jabatannya, karena hal itu berada di ranah hukum tata negara atau proses politik (seperti pemakzulan).
Kasus Gugatan Ijazah Gibran ini terus menjadi sorotan publik dan media. Terlepas dari hasil akhirnya, polemik ini mencerminkan tingginya sensitivitas masyarakat terhadap isu integritas dan legalitas pejabat publik, khususnya terkait pemenuhan syarat formal dalam kontestasi politik. Mediasi akan terus berlanjut, dan tanggapan resmi dari pihak Gibran dan KPU terhadap proposal perdamaian ini akan sangat menentukan arah kasus di masa mendatang. Warga negara menunggu, apakah drama hukum ini akan berakhir di meja mediasi, atau berlanjut hingga putusan pengadilan.
Baca juga: