Berita Empire

Update Berita Terbaru Setiap Harinya

Gelar Pahlawan Nasional Soeharto
BERITA TERKINI

Gelar Pahlawan Nasional Soeharto Kontribusi Masa Perang

JAKARTA – Keputusan Pemerintah menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional Soeharto kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Jenderal Besar TNI (Purn) H. M. Soeharto, merupakan salah satu keputusan paling signifikan dan sensitif di era Reformasi. Pengumuman yang disampaikan pada peringatan Hari Pahlawan 2025 ini memicu perdebatan panjang di kalangan masyarakat, sejarawan, dan aktivis. Namun, Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) menegaskan bahwa penganugerahan ini didasarkan pada jasa-jasa luar biasa yang terbukti secara historis, terutama dalam periode sebelum dan selama masa kemerdekaan.

Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Soeharto didasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 116/TK/Tahun 2025. Gelar ini secara khusus mengakui perannya di bidang Perjuangan Bersenjata dan Politik. Ini merupakan bagian dari upaya negara untuk menghormati para pemimpin pendahulu yang memiliki kontribusi nyata dalam pembentukan dan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebuah bangsa besar yang tidak melupakan sejarah.

 

Peran Militer: Pahlawan di Medan Perang Kemerdekaan

 

Meskipun pemerintahan Orde Baru yang dipimpinnya berlangsung selama 32 tahun, dasar pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto lebih menitikberatkan pada rekam jejaknya di masa perjuangan fisik kemerdekaan, sebuah periode yang kurang kontroversial dibandingkan masa kepemimpinannya.

 

1. Pelucutan Senjata Jepang di Kota Baru (1945)

 

Salah satu jasa menonjol yang dicatat adalah peran Soeharto sebagai wakil komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Yogyakarta. Ia memimpin operasi penting pelucutan senjata pasukan Jepang di Kota Baru pada tahun 1945, setelah proklamasi kemerdekaan. Tindakan militer yang berani dan terorganisir ini sangat krusial dalam mengamankan senjata dan amunisi yang dibutuhkan pejuang Indonesia untuk menghadapi kembalinya kekuatan Sekutu dan Belanda. Ini menunjukkan kepemimpinan taktisnya di garis depan perjuangan.

 

2. Serangan Umum 1 Maret (1949)

 

Peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta juga menjadi poin kunci. Sebagai komandan militer lapangan, Soeharto memimpin unit-unitnya untuk merebut kembali kota Yogyakarta yang diduduki Belanda selama enam jam. Aksi ini, meskipun singkat, memiliki dampak politik dan diplomasi yang luar biasa. Itu membuktikan kepada dunia internasional bahwa Pemerintah Indonesia (yang saat itu berada di pengasingan) masih eksis dan memiliki kontrol militer, sebuah faktor penentu dalam negosiasi di Dewan Keamanan PBB dan pengakuan kedaulatan Indonesia.

 

Jasa Politik dan Militer Menjaga Keutuhan Bangsa

 

Gelar Pahlawan Nasional Soeharto juga mengakui kontribusinya dalam menjaga keutuhan NKRI di masa-masa awal yang penuh gejolak.

 

Peran dalam Konfrontasi dan Pemulihan Stabilitas

 

Soeharto juga memainkan peran penting dalam berbagai operasi militer setelah kemerdekaan, termasuk operasi militer dalam mengatasi pemberontakan PKI Madiun 1948 dan perannya dalam masa Trikora (pembebasan Irian Barat). Pengalaman dan kepemimpinannya dalam militer diakui sebagai faktor penting dalam menjaga stabilitas politik dan keutuhan wilayah Indonesia dari berbagai ancaman internal dan eksternal.

Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla menegaskan bahwa penganugerahan ini didasari oleh jasa yang lebih banyak dibandingkan kekurangan Soeharto. Penilaian ini berfokus pada kontribusi historisnya, menempatkannya sejajar dengan pemimpin militer dan politik lainnya yang berjuang untuk fondasi negara.

 

Pro dan Kontra: Sebuah Tinjauan Sejarah yang Dewasa

 

Tidak dapat dimungkiri, keputusan Gelar Pahlawan Nasional Soeharto menuai kritik keras. Organisasi masyarakat sipil, korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu, dan kelompok antikorupsi menilai bahwa catatan masa kepemimpinan Orde Baru tidak dapat diabaikan.

 

Kritik dan Pelanggaran HAM

 

Kritik utama tertuju pada dugaan pelanggaran HAM berat (seperti Peristiwa 1965, Penembakan Misterius, dan Peristiwa Tanjung Priok) dan meluasnya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) selama masa Orde Baru. Para kritikus berpendapat bahwa gelar pahlawan akan mengkhianati agenda reformasi 1998 dan membuka luka sejarah yang belum disembuhkan.

 

Argumentasi Istana dan Dewan GTK

 

Di sisi lain, pihak Istana dan Dewan GTK berargumen bahwa pahlawan nasional adalah gelar yang mengakui kontribusi luar biasa terhadap bangsa dan negara, terlepas dari kekurangan pribadi atau kontroversi politik. Mereka menekankan bahwa proses penetapan telah melalui kajian akademis dan ilmiah yang menyeluruh serta memenuhi syarat administratif yang berlaku. Penganugerahan ini dianggap sebagai langkah untuk menghormati para pendahulu bangsa.

Pada akhirnya, Gelar Pahlawan Nasional Soeharto mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan sudut pandang sejarah. Meskipun kontroversi masa Orde Baru tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi sejarah Indonesia, gelar pahlawan ini secara resmi mengakui jasa-jasa Soeharto yang tak terbantahkan dalam Perjuangan Bersenjata dan Politik selama masa krusial pendirian bangsa, memastikan bahwa kontribusinya dalam membela kemerdekaan tetap tercatat.

Baca juga:

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *